Sejarah Pikiran Rakyat Hingga saat ini, Intip juga Yuk Profile Video Pikiran Rakyat Media Network

- 28 Februari 2023, 16:07 WIB
Dok Pikiran Rakyat
Dok Pikiran Rakyat /


OKETANBU, Pikiran Rakyat - Ada dua peristiwa bersejarah di Bandung pada tanggal 24 Maret. Pertama, pada 24 Maret 1946 terjadi peristiwa yang revolusioner di Bandung, yakni Bandung Lautan Api.

Kedua, di tanggal dan bulan yang sama, tahun 1967, lahirlah sebuah harian umum bernama Pikiran Rakyat, di tengah situasi transisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru. Tapi, sebagai sebuah suratkabar, sebenarnya Pikiran Rakyat tak bisa dibilang benar-benar baru.

Tujuhbelas tahun sebelumnya, tanggal 30 Mei 1950, telah berdiri koran dengan nama Warta Harian Pikiran Rakjat, yang diterbitkan oleh Bandung NV (Naamloze Vennootschap), sebuah penerbit di Jl. Asia Afrika 133, Bandung. Warta Harian Pikiran Rakjat didirikan oleh Djamal Alidan A.Z. Palindih.

Compeny Profile Pikiran Rakyat Media Network

Dikutip dari tulisan Muhammad Fasha Rouf, Djamal Ali menjabat sebagai Presiden Direktur, sedangkan jabatan Pemimpin Redaksi dipegang Sakti Alamsyah Siregar, sementara yang menjabat Ketua Bagian Penelitian, Perencanaan dan Promosi (BP3) adalah Ahmad Sarbini.

Bahkan, bila kita telusuri lebih panjang, masyarakat Bandung telah mengenal sebuah koran berkala bernama Fikiran Ra’jat, yang mulai terbit tahun 1926. Sebagai mana surat kabar dan koran di masa pergerakan nasional, Fikiran Ra’jat merupakan corong PNI (Partai Nasional Indonesia) bentukan Ir. Sukarno. 

Di Fikiran Ra’jat-lah, Bung Karno menuliskan pemikiran-pemikiran politiknya dalam menentang kebijakan dan politik pemerintah Hindia-Belanda. Namun, sekitar 1930-an,terutama sejak PNI dilarang oleh pemerintah kolonial, Fikiran Ra’jat tak terdengar lagi.

Baru di awal 1950, dengan sedikit perubahan ejaan, terbit sebuah “warta harian” bernama Pikiran Rakjat bentukan Djamal Ali.

Djamal Ali merupakan wartawan senior yang pernah memimpin surat kabar Boeroeh di Yogyakarta semasa revolusi fisik. Sebagai mantan wartawan koran yang condong ke ideologi kiri, ideologi Djamal Ali masih terlihat pada suratkabar bentukannya di Bandung yang cukup nasionalistis (“nasionalis kiri”).

Citra nasionalis Pikiran Rakjat semakin pekat dengan kehadiran Asmara Hadi di dalamnya. Sebagai “menantu angkat” Presiden Sukarno (ia menikah dengan Ratna Juami, anak angkat pasangan Inggit Garnasih – Sukarno), Asmara Hadi memang sangat dipengaruhi ideologi PNI.

Akan tetapi, bukan berarti Pikiran Rakjat merupakan corong dari PNI atau pers Sukarnois (mendukung dan membela kebijakan Sukarno).

Suasana pembredelan pers
Seiring situasi politik di zaman Demokrasi terpimpin makin memanas, dunia pers nasional pun terkena imbasnya, tak terkecuali Warta Harian Pikiran Rakyat.

Berawal dari pidato Presiden pada 17 Agustus 1959 yang diberi nama Manifesto Politik (Manipol), pelbagai sektor kehidupan nasional harus mengikuti kebijakan pemerintah. Pers
nasional pun diarahkan untuk kepentingan Demokrasi Demokrasi serta Manipol-nya.

Sebagai landasan hukum, dikeluarkanlah Lampiran A Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 yang menetapkan bahwa media massa harus diarahkan untuk mendorong aksi revolusioner di seluruh Indonesia, di mana semua media massa seperti pers, radio, film, dan sebagainya harus digerakkan sebagai kesatuan yang terpadu secara terpimpin.

Untuk mewujudkan pers yang progresif-revolusioner, pemerintah berjanji akan membantu dalam pengadaan fasilitas, latihan, dan kertas koran.

Rupanya, campur tangan pemerintah tak berhenti sampai sana. Presiden Sukarno, sebagai Penguasa Perang Tertinggi,tanggal 12 Oktober 1960, mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap penerbit mendaftarkan diri untuk mendapatkan Surat Izin Terbit (SIT).

SIT tersebut bisa diperoleh jika pers memenuhi persyaratan. Antara lain loyal terhadap Manipol-Usdek, bersedia menaati Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No.10 tahun 1960, serta bersedia menandatangani perjanjian pemenuhan kewajiban yang berisi 19 pasal.

Pertentangan di panggung politik nasional antara pendukung Manipol-Usdek versus yang kontra terhadapnya makin meruncing. Salah satunya adalah pembubaran Barisan Pendukung.

Sukarnoisme (BPS) di seluruh Indonesia pada 17 Desember 1964 oleh Presiden Sukarno sendiri. BPS didirikan oleh Adam Malik, B.M. Diah (harian Merdeka), dan Sumantoro (Berita Indonesia) guna membendung pengaruh PKI (Partai Komunis Indonesia), yang kemudian mendapatkan perlawanan dari pihak komunis yang menuduh BPS sebagai “kaum reaksioner” dan “menentang arus sejarah dan gerakan revolusioner rakyat Indonesia”.

Presiden Sukarno malah menuduh BPS sebagai agen CIA (badan intelegen AS) dan mendapat dana jutaan dolar dari Amerika Serikat. Sementara keputusan tersebut disambut gembira oleh PKI, banyak wartawan simpatisan BPS anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang telah dikuasai golongan komunis, dipecat.

Menyusul pemecatan tersebut, tanggal 23 Februari 1965 pemerintah membredel seluruh pers BPS. Sebulan kemudian, tanggal 25 Maret 1965, melalui Departemen Penerangan, pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa semua surat kabar wajib berafiliasi kepada partai politik atau organisasi massa tertentu.

Peraturan tersebut mengakibatkan wajah pers nasional makin bermuatan ideologis. Beberapa media massa menjadi corong parpol dan ormas. Di antaranya adalah: Suluh Indonesia menjadi suratkabar corong PNI, yang mempunyai delapan afiliasi di beberapa kota; Duta Masjarakat menjadi corong NU (Nakhdatul Ulama) dengan tujuh afiliasi;

Harian Rakjat corong PKI dengan 14 afiliasi; Api Pantjasila corong IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) dengan tiga afiliasi.

Nasib Warta Harian Pikiran Rakjat sendiri bagaimana?

Teguh Menjaga Netralitas

Di tengah hiruk-pikuk slogan “Politik adalah Panglima”, setelah Barisan Pendukung Sukarnoisme (BPS) dibubarkan. Surat kabar yang sebelumnya dicabut izin terbitnya, yakni Berita Indonesia, telah dialihnamakan menjadi Berita Yudha, media massa yang dikelola ABRI sebagai propaganda guna menahan media-media underbow PKI.

Yang menjadi pemimpin umum Berita Yudha adalah Brigjen Ibnusubroto, sedangkan sebagai pemimpin redaksi ditunjuk Brigjen Nawawi Alif. Selain Berita Yudha, ABRI pun menerbitkan surat kabar lain bernama Angkatan Bersendjata dengan pimpinan Brigjen. R.H. Sugandhi dan Letkol. Yusuf Sirath. Kedua media ini berkantor di Jakarta.

Di lain pihak, sejak dikeluarkannya peraturan tanggal 25 Maret 1965, pemilik Pikiran Rakjat mengambil “langkah aman” dengan menerbitkan koran Mercusuar yang berafiliasi kepada Muhammadiyah. Sedangkan, wartawan dan pegawai Pikiran Rakjat yang tidak berafiliasi kepada sebuah parpol atau ormas, termasuk Sakti Alamsyah sang pemimpin redaksi, otomatis “menganggur”.

Para wartawan yang “menganggur” tersebut tetap “berkantor” di Jl. Asia Afrika 133 Bandung seraya terus mencari peluang menerbitkan surat kabar yang dinilai “independen”. Warta Harian Pikiran Rakjat sendiri otomatis berhenti cetak.

Sambil tetap berusaha, banyak di antara bekas wartawan Pikiran Rakjat menulis di beberapa surat kabar dan majalah, baik yang terbit di Bandung maupun di Jakarta. Malah, ada pula yang mengarang buku dan membuat komik segala. Alhasil, kehidupan mereka, terutama yang sudah berkeluarga, terombang-ambing oleh
ketidakpastian, sementara harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi.

Dijahit Kodam VI / Siliwangi

Untuk itu, para wartawan senior Pikiran Rakjat melakukan kontak dengan para perwira Kodam VI/Siliwangi. Sedangkan para wartawan muda sudah mulai bertugas di lapangan dan menyalurkan hasil karyanya lewat dua media massa yang diterbitkan Kodam VI/Siliwangi, yakni Harapan Rakjat dan Berita Yudha.

Mantan wartawan Pikiran Rakjat yang jumlahnya 18 orang tersebut memperoleh dukungan pula dari sejumlah karyawan pers dari penerbitan yang sama.

Dengan begitu, jumlahnya bertambah menjadi 29 orang. Sejumlah karyawan pers yang merupakan kawan lama, diajak bergabung. Ada yang menolak, ada pula yang menunggu “waktu yang baik”.

Di saat-saat prihatin itulah, dengan dana pinjaman, ke-29 orang itu mulai mendapatkan honor tetap sebesar Rp 5 per minggu. Penerbitan mulai berjalan. Seluruh wartawan muda dikerahkan, bukan saja bertugas sebagai reporter tetapi juga sebagai tenaga pemasaran.

Ada di antaranya yang mulai dititipi lima koran tiap pagi (dan biasanya tanpa sisa) lalu hasilnya disetor ke petugas distribusi.

Sosialisasi di lapangan pun lebih banyak menggunakan tenaga wartawan, dengan menggunakan sepeda atau jalan kaki. Sejumlah wartawan yang belum berkeluarga biasanya menginap di kantor dan tidur di atas meja kerja.

Waktu itu, semua reporter bertugas rangkap sebagai korektor menjelang jam-jam cetak sekira pukul 04.00 pagi. Karyawan yang bertugas di bidang distribusi dan sirkulasi juga tidur sekenanya di atas meja beralas kertas koran.

Sementara itu, wartawan senior sibuk melakukan pendekatan-pendekatan ke berbagai pihak, terutama kepada perwira-perwira Kodam VI/Siliwangi sambil mencari dukungan modal.

Pendekatan terhadap Kodam VI/Siliwangi pun membuahkan hasil. Panglima Kodam (Pangdam) VI Siliwangi, Ibrahim Adjie, yang sukses memberantas pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, mengajak para wartawan tersebut membentuk sebuah yayasan.

Badan hukum yang dipilih sengaja yayasan, mengingat pada masa itu badan hukum yayasan dipandang paling sesuai untuk menampung aspirasi dan cita-cita kebersamaan wartawan dan karyawan pers. Maka, pada April 1967 didirikanlah Jajasan Pikiran Rakjat Bandung.

Akhirnya, diwakili Sakti Alamsyah dan Atang Ruswita, mereka sepakat pula menerbitkan Harian Umum Angkatan Bersendjata Edisi Djawa Barat / Pikiran Rakjat. Harian Umum Angkatan Bersenjata Edisi Djawa Barat ini merupakan afiliasi Harian Umum Angkatan Bersenjata pusat yang terbit di ibukota, dengan surat izin terbit (SIT) No. 021/SK/DPHM/SIT/1966.

Nomor perdana Harian Umum Angkatan Bersenjata Edisi Djawa Barat terbit pada 24 Maret 1966, bertepatan dengan peringatan ke-20 peristiwa Bandung Lautan Api.

Para perintis dan pendiri utamanya yang dicantumkan dalam kepengurusan Jajasan Pikiran Rakjat Bandung antara lain: Sakti Alamsyah, Atang Ruswita, Amir Zainun, Soeharmono Tjitrosoewarno, Bram M. Darmaprawira, Dalius, Warsono Tydara, Syafik Umar, Parman Djajadiredja, Hilman BS, dan Gunadi Wibisono.

Sedangkan kelompok karyawan pers antara lain Suprijadi, TM. Achyar, Sagi, Nanang, Anang Rachmat, Sarkim, Sahri. M. Nawawi Alif dan Apandi.

Ada “peraturan tak tertulis” di antara para pelopor dan pendiri utama harian ini bahwa semua memiliki hak yang sama. Karena itu, ketika status yayasan akan berubah menjadi badan hukum perseroan terbatas, notaris kaget, mengingat pendirinya berjumlah hampir 29 orang (sedangkan, biasanya pemilik perusahaan semacam itu tidak banyak;paling dua - tiga orang).

Baru mau hampir setahun harian ini berjalan, Menteri Penerangan mencabut kembali peraturannya tentang keharusan pers berafiliasi dengan parpol atau ormas. Pangdam Siliwangi pun melepas sepenuhnya ketergantungan koran ini dari Kodam Siliwangi.

Maka, terhitung sejak 24 Maret 1967, Harian Umum Angkatan Bersenjata Edisi Djawa Barat/ Pikiran Rakjat berganti nama menjadi Harian Umum Pikiran Rakyat saja.
Kehidupan baru pun dimulai.

Regional ke nasional
Terpisah dari naungan militer, membuat HU Pikiran Rakyat harus memenuhi kebutuhannya sendiri. Enam tahun pertama sejak kelahirannya tahun 1967, nasib Pikiran Rakyat penuh jibaku dan keprihatinan, mengingat baik kantor,peralatan cetak,maupun alat tulis (termasuk mesin tik yang paling murah sekalipun) tak dimiliki Pikiran Rakyat. Oplah Pikiran Rakyat pun tak pernah lebih dari 20.000 eksemplar setiap harinya.

Namun, idealisme para perintis Pikiran Rakyat tetap membara, lamban namun pasti terus berusaha agar harian yang mereka kelola bisa meraup pembaca lebih banyak.

Gaji dari kertas koran kiloan
Menurut Ramdhan Budi Prastowo dalam skripsinya “Muncul dan Perkembangannya Surat Kabar Pikiran Rakyat Sampai Awal Orde Baru di Bandung (1950 -1974)” (Universitas Negeri Yogyakarta, 2017), jika bekerja, pengelola Pikiran Rakyat dalam membuat beritakerap “menumpang” dan meminjam peralatan kantor orang lain.

Ada pun tenaga kerjanya (wartawan dan tata-usaha) tidak lebih dari 30 orang. Mengenai honor pun sangat terbatas sekali. Kalau pun ada sedikit uang (bila boleh disebut “honor”) itu diperoleh dari hasil penjualan kertas koran sisa.

Maksudnya, kertas koran sisa dari percetakan dan koran yang tidak laku pada hari itu dikumpulkan setiap hari. Lalu di akhir bulan kertas koran bekas tersebut dikilo untuk dijual ke tempat penampungan kertas bekas. Dari hasil penjualan inilah didapat uang lalu dibagi rata.

Atas saran Menteri Penerangan RI waktu itu, maka bentuk badan hukum Pikiran Rakyat yang semula berupa “yayasan” diubah menjadi perseroan terbatas (PT), dengan nama PT. Pikiran Rakyat, terhitung 9 April 1973, dengan Akte Notaris No. 6 yang dibuat di hadapan Notaris Noezar, S.H. di Bandung. Perubahan ini lalu disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No. 7. A 5/212/10, tanggal 13 Juli 1973, yang diumumkan dalam berita negara No. 58 tanggal 20 Juli 1973, dengan Surat Ijin Terbit No. 0553/PER/2/SK/DIRJEN-PG/SIT/1973 tanggal 8 Agustus 1973. Jadilah PT. Pikiran Rakyatsebagai perusahan yang menerbitkan HU Pikiran Rakyat.

Dengan badan hukum yang baru, Pikiran Rakyat pun segera memperbaharui diri layaknya sebuah perusahaan modern. Semangat idealisme dan etika jurnalisme mereka padukan dengan manajemen bisnis. Dimulailah perancangan program kerja yang lebih terencana dan sistematis.

Langkah yang paling awal, di permulaan 1974,mereka membeli empat unit mesin percetakan offset dari PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) dengan bantuan BRI (Bank Rakyat Indonesia).

Dengan mesin cetak yang mampu mencetak sebanyak 25.000 ekslemplar koran per jam, oplah Pikiran Rakyat terus meningkat tajam dan mampu merambah ke seluruh pelosok Jawa Barat sehingga memantapkan diri sebagai “korannya orang Jawa Barat”, sekaligus yang terbesar di provinsi bersangkutan.

Jika dalam kurun 1967-1973 koran-koran berskala nasional terbitan Jakarta yang mendominasi peredaran koran Jawa Barat, maka setelah itu HU Pikiran Rakyat-lah
yang mengambil alih posisi tersebut.

Memperlebar sayap
Tak hanya region Jawa Barat, antara 1975-1986 distribusi Pikiran Rakyat merambah ke seluruh penjuru negeri.Dengan begitu, bisa disebut Pikiran Rakyat merupakan koran daerah yang terbit secara nasional.

Bahkan pangsa pasar Pikiran Rakyat sampai ke Brunei Darussalam dan Malaysia (Kuala Lumpur). Terhitung sejak 11 Februari 1986, dengan Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers (SIUPP) No. 035/SK. MENPEN/SIUPP/A.7/1986, Pikiran Rakyat kembali menjadi koran regional yang berbasis di Jawa Barat, walau sebagian tirasnya beredar di DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, serta beberapa provinsi lainnya.

Tahun 1983, Direktur/Pemimpin Umum HU Pikiran Rakyat, Sakti Alamsyah,yang telah meletakkan dasar-dasar pengelolaan suratkabar yang terbit di daerah, wafat. Untuk
memperoleh pengganti Sakti Alamsyah, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT. Pikiran Rakyat Bandung memilih Atang Ruswita sebagai Direktur sekaligus sebagai Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi. Sebelumnya Atang Ruswita adalah Pemimpin Redaksi dan Komisaris.

Mengikuti perkembangan teknologi percetakan, pada tahun 1985, PT Pikiran Rakyat membeli dua unit mesin cetak baru merk "Goss Community" yang langsung didatangkan dari Amerika Serikat. Mesin cetak ini memiliki kapasitas cetak sebanyak 50.000 eksemplar/jam/unit.

Sementara itu, alat percetakan offset yang dibeli pada 1974, kemudian ditempatkan di PT. Granesia (anak perusahaan PT. Pikiran Rakyat) di Jl. Sekelimus Barat 6 Bandung, dan masih beroperasi untuk melayani kegiatan percetakan penerbitan umum di luar Grup Pikiran Rakyat.

Sejak 1986, pada hari-hari tertentu secara periodik, HU Pikiran Rakyat memiliki beberapa suplemen, yakni “Gelora” (olahraga), “Khazanah” (budaya), “Geulis” (kewanitaan), dan “Cakrawala” (iptek).

Setelah cukup mapan, PT Pikiran Rakyat Bandung kemudian mendirikan PT Granesia, sebuah anak perusahaan yang menangani percetakan.PT Granesia tak hanya mencetak HU Pikiran Rakyat, namun juga secara berturut-turut mencetak Mitra Bisnis (semula Mitra Desa), tabloid berbahasa Sunda Galura, serta surat kabar Mitra Dialog (di Cirebon).

Lalu, pada 1999, sejalan dengan asas otonomi daerah tingkat dua, Pikiran Rakyat mengambil alih Harian Umum Galamedia dari PT Surya Persindo Grup, lalu Pakuan yang terbit di Bogor, Kabar Priangan di Tasikmalaya, dan Fajar Banten di Serang.

Perusahaan pun kemudian menangani Radio Parahyangan yang kemudian berganti nama menjadi PRFM hingga saat ini. Seiring dengan terdapatnya sejumlah penerbitan tersebut, sebutan PT. Pikiran Rakyat pun berubah menjadi Grup Pikiran Rakyat.(Ojel Sansan Yusandi)***

Editor: M. Khairil Ansyari


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah